/ rakenobodo.com: Desember 2010

TEORI-TEORI PENDIDIKAN

1. Teori Koneksionisme
Edward Lee Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi antara stimulus (S) de¬ngan respons (R). Stimulus akan memberi kesan ke-pada pancaindra, sedangkan respons akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Asosiasi seperti itu disebut Connection. Prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai teori Connectionism.
Pendidikan yang dilakukan Thorndike adalah menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung problem. Model eksperimen yang ditempuhnya sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan kucing sebagai objek penelitiannya. Kucing dalam keadaan lapar dimasukkan ke dalam kandang yang dibuat sedemikian rupa, dengan model pintu yang dihubungkan dengan tali. Pintu tersebut akan terbuka jika tali tersentuh/tertarik. Di luar kandang diletakkan makanan untuk merangsang kucing agar bergerak ke-luar. Pada awalnya, reaksi kucing menunjukkan sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang tidak menentu, hingga akhirnya suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang menyebabkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien. Itu berarti, kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna dan yang tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu menunjukkan adanya hubungan kuat antara stimulus dan respons.
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut:
a. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini memberikan keterangan mengenai kesiapan seseorang merespons (menerima atau menolak) terhadap suatu stimulan. Pertama, bila sese¬orang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak akan melakukan tingkah laku lain. Contoh, peserta didik yang sudah benar-benar siap menempuh ujian, dia akan puas bila ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan ting¬kah laku lain untuk mengurangi kekecewaan. Contoh peserta didik yang sudah belajar tekun untuk ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung melakukan hal lain (misalnya: berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan kekecewaannya.
Ketiga, bila seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut. Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan tes.
Keempat, bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan tetap tidak melakukannya, maka ia akan puas. Contoh, peserta didik akan merasa lega bila ulangan ditunda, karena dia belum belajar.
b. Hukum Latihan (The Law of Exercise)
Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of use), dan hukum bukan penggunaan (the law of disuse). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons akan makin kuat. Sedangkan hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan semakin melemah jika latihan dihentikan.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin sering suatu pelajaran diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk dikuasai.
c. Hukum Akibat (The Law of Effect)
Hubungan stimulus-respons akan semakin kuat, jika akibat yang ditimbulkan memuaskan. Sebaliknya, hubungan itu akan semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan akibat yang menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi jika akibatnya tidak menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (pun¬ishment).
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
2. Teori Classical Conditionins
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya adalah tentang condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov menggunakan anjing sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan makanan dan isyarat bunyi, dengan asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulan berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di balik bunyi itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori belajar.
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut:
a. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/ mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/individu.
d. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e. Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.

dolanan Sobyung

PERMAINAN SOBYUNG
A. Pengertian
Bagi anak-anak sekarang yang belum pernah mendengar nama permainan tradisional ini tentu merasa aneh dan asing. Namun tidak demikian, bagi anak-anak masyarakat Yogyakarta yang pernah mendengar atau bahkan memainkannya. Permainan ini sering dimainkan oleh anak-anak perempuan di kalangan masyarakat Yogyakarta zaman dulu yang sekarang sudah agak jarang dimainkan lagi. Meskipun kadang dilakukan oleh anak-anak laki-laki atau campuran laki-laki dan perempuan. Permainan anak ini biasanya dimainkan oleh 5 anak. Namun bisa pula dimainkan oleh 4, 6, atau 7 anak. Pemain umumnya berusia 6 hingga 10 tahun. Namun bisa pula lebih, asalkan anak-anak yang bermain sudah memahami aturan main. Selain itu, anak-anak yang bermain juga harus mempunyai wawasan luas, cekatan, bandel (tidak cengeng), dan tidak egois. Sebab sifat permainan ini adalah hiburan. Permainan ini tidak membutuhkan tempat yang luas, kecuali hanya sebatas alas tikar saja. Bisa dimainkan di teras rumah, di dalam rumah, di halaman rumah, atau tempat-tempat lain, asalkan nyaman bagi anak-anak yang bermain. Waktu bermain juga bebas, kadangkala dimainkan saat liburan, malam bulan purnama, atau waktu senggang (istirahat sekolah). Jenis permainan ini dimainkan dengan cara menunjukkan jari-jari tangan kemudian dihitung dengan nama “janak, deng (bandeng), urang, dan kèper”. Ini adalah permainan yang disebut Sobyung.
B. Cara bermain
Di dalam cara bermainan Sobyung ada dua versi.Versi yang pertama yaitu anak/peserta yang akan bermain, biasanya mereka duduk sambil berkeliling, saling berhadapan satu sama lain. Salah satu dapat dijadikan ketua atau pemimpin. Biasanya yang jadi pemimpin permainan dipilih yang tertua, berlaku adil, atau yang cerdas. Setelah itu, peserta yang bermain mengucapkan kata “so” sambil mengangkat kedua tangan ke atas (kira-kira sebatas telinga). Lalu sambil mengucapkan kata “byung”, peserta meletakkan kedua tangan (dengan jari-jari diregangkan) ke atas lantai atau tikar, kecuali pemimpin hanya tangan sebelah karena tangan satunya berfungsi untuk menghitung. Dalam meregangkan jari-jari tangan setiap pemain bebas memilih. Misalkan, peserta A menunjukkan tangan kiri dua, tangan kanan tiga. Sementara peserta B menunjukkan tangan kiri lima, tangan kanan satu. Begitu pula dengan pemain-pemain lainnya. Setelah itu, pemimpin mulai menghitung.
Selanjutnya, dalam permainan Sobyung ini ada beberapa tahap permainan. Tahap pertama, peserta mulai menghitung jari-jari yang diregangkan tadi dengan menyebut “jan, nak, deng, urang, dan kèper”. Setiap jari yang jatuh pada hitungan kelima, harus ditekuk hingga jari-jari setiap peserta berkurang. Begitu diulang-ulang hingga akhirnya tinggal ada satu peserta yang jarinya masih tersisa. Maka peserta itulah yang dianggap “dadi”, misalkan peserta D. Sementara keempat peserta, A, B, C, dan E dianggap peserta yang menang. Tahap kedua, permainan dilanjutkan dengan menghukum peserta D. Misalkan mulai dari peserta A. peserta A dan peserta D saling berhadapan. Lalu peserta A bernyanyi “are-are bang ji” sambil meletakkan salah satu jarinya –misalkan ibu jari, telunjuk, atau kelingking (di lutut anak yang kalah). Peserta D juga harus menirukan sesuai dengan jari peserta yang menghukum. Jika tidak sama, dilanjutkan “bang ro” dan seterusnya. Namun jika belum sampai “bang sepuluh” kebetulan jari yang ditunjukkan disamai oleh jari anak yang dihukum, yakni peserta “D”, maka hukuman dihentikan. Lalu dilanjutkan dengan hukuman peserta B. Apabila sampai “bang sepuluh” peserta yang dihukum belum bisa menebak atau menyamai jari yang ditunjukkan oleh pemain yang menang, maka dilanjutkan dengan tahap selanjutnya. Tahap hukuman selanjutnya adalah hukuman wayangan. Peserta yang menang pada tahap pertama dan tebakannya belum terjawab dapat dilanjutkan pada tahapan ini. Maka peserta yang menang akan menyanyikan lagu “gung-gung-gung dang gentak gendhang” sambil mengangkat salah satu tangannya. Saat nyanyian jatuh pada kata “gendhang” maka peserta yang menang harus segera menempelkan tangan yang diangkat tadi pada salah satu anggota badan, misalkan telinga, hidung, dan sebagainya. Langkah itu harus cepat dilakukan agar tidak bisa ditirukan oleh peserta yang kalah. Jika peserta yang kalah bisa menirukan dengan tiruan gerak yang sama, maka kesempatan peserta menang telah habis. Namun jika pihak yang kalah belum bisa menirukan pihak yang maka ada hukuman lain. Hukuman lain ini berupa tamparan telapak tangan. Peserta yang kalah meletakkan salah satu tangan menyerupai “orang hendak bersalaman” di hadapan peserta yang menang. Lalu peserta yang menang meletakkan kedua tangan di sisi kanan kiri telapak tangan peserta yang kalah dan posisinya sejajar. Lalu peserta yang menang segera mangayunkan salah satu atau kedua tangannya menampar tangan peserta yang kalah. Jika ayunan tangan mengenai telapak tangan anak yang kalah, maka dilakukan terus hingga tangan peserta yang menang tidak mengenai sasarannya. Hukuman ini memang agak menyakitkan bagi peserta yang kalah, karena akan terasa panas oleh tamparan tangan lawan. Maka jika ada peserta yang menang merasa kasihan dengan peserta yang kalah, maka dapat dilakukan dengan cara agak pelan. Jika hukuman sudah selesai, dilanjutkan dengan permainan dari awal lagi.
Versi kedua, anak-anak/peserta yang bermain sama, yakni meletakkan jari-jari tangan di atas lantai atau tikar. Bebas, boleh dua tangan atau satu tangan. Jari yang ditunjukkan juga bebas, boleh satu, dua, atau lima. Namun sebelumnya sudah harus disepakati, akan menyebutkan nama-nama apa, misalnya nama hewan, nama kampung, nama buah, dan sebagainya. Jika sudah ada kesepakatan, misalkan nama hewan, maka setiap kali nanti di akhir menyebutkan huruf-huruf, maka harus menyebutkan nama hewan sesuai dengan abjad awalnya. Lalu pemimpin dolanan sobyung mulai menyebut jari-jari yang ditunjukkan dengan abjad mulai dari “A” hingga abjad terakhir sesuai dengan jumlah jari yang ditunjukkan oleh semua peserta. Jika dari kelima peserta, si pemimpin terakhir menyebut jari-jari yang ditunjukkan dengan huruf “O”, maka anak-anak yang bermain segera menyebut hewan-hewan yang berawal dengan huruf “O”, misalnya “onta”, “orong-orong”, dan sebagainya. Jika ada peserta yang belum sempat menyebutkan nama hewan yang berawal dengan huruf “O” atau terakhir kali menyebutnya, maka dianggap peserta yang “dadi”. Bisa jadi, sekali menyebut belum semuanya memperoleh nama hewan, maka diulangi lagi hingga ada satu pemain terakhir yang “dadi”. Peserta yang dadi lalu mendapat hukuman sesuai dengan kesepakatan. Biasanya hukuman dengan cara seperti di atas, yakni menampar telapak tangan. Jika semua sudah menghukumnya, permainan dapat diulangi dari awal.

C. Nilai-nilai yang terkandung

Di dalam permainan Sobyumg ini terdapat beberapa nilai-nilai budaya dan pendidikan. Misalnya, ketika salah satu dari peserta dipilih menjadi pimpinan maka anak yang terpilih harus belajar menjadi seorang pemimpin yang harus berlaku adil. Sebagai peserta dalam permainan ini, anak harus belajar menjadi orang yang bisa bertanggung jawab, tidak cengeng, dan tidak egois. Selain itu permainan Sobyung juga mengajarkan kepada pesertanya untuk melatih berpikir secara cepat, misalnya ketika pada gilirannya peserta harus menyebut nama hewan. Peserta harus bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ada pada peserta lain ketika bermain, sehingga mampu memupuk rasa kebersamaan dan persatuan.